1. Pasar Lokal
Pada tahun 1980-an, patin hanya dikenal dan digemari kalangan masyarakat Sumatera dan Kalimantan. Belakangan, seiring mulai suksesnya pengembangan budidaya patin siam, konsumsinya mulai dikenal luas. Kini, patin tidak hanya menjadi bagian menu makan masyarakat Sumatera dan Kalimantan, tapi sudah meluas hingga ke Pulau Jawa terutama Jawa Barat dan Kawasan Timur Indonesia.
Membaiknya prospek pemasaran di dalam negeri, tidak bisa lepas dari kebutuhan masyarakat Indonesia pada protein hewani. Seperti diketahui, kebutuhan protein hewani masyarakat di Tanah Air umumnya terus meningkat, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendidikan, dan taraf hidup. Bukan rahasia umum, peningkatan taraf hidup ini berkorelasi positif dengan kemampuan daya beli masyarakat.
Selain itu, munculnya kesadaran masyarakat pada bahaya kolesterol, juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis protein hewani yang akan dikonsumsi. Masyarakat menilai, sumber protein hewani asal ikan—termasuk ikan patin— lebih aman ketimbang dari hewan lainnya. Pasalnya, kadar kolesterolnya relatif lebih rendah. Alasan lain adalah ditemukannya berbagai kasus penyakit pada hewan ternak. Merebaknya kasus sapi gila atau madcow pada sapi dan kasus flu burung atau avian influenza pada ayam, membuat masyarakat beralih pada sumber protein lain yang dinilai lebih aman, yakni ikan.
Hingga saat ini, belum ada referensi yang pasti tentang jumlah kebutuhan patin di tingkat lokal. Namun, untuk mengetahuinya bisa digunakan gambaran sebagai berikut. Pada tahun 1990 misalnya, kebutuhan benih di Sumatera Selatan masih kurang dari 1 juta ekor perbulan. Namun, pada periode tahun 1995 hingga 1997, kebutuhan benih di daerah tersebut mencapai lebih dari 2 juta ekor perbulan. Data terakhir dari Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan, kebutuhan benih secara nasional mencapai 55 juta ekor per bulan. Jumlah tersebut diperlukan untuk mencapai target produksi patin konsumsi sebesar 16.500 ton.
Ke depan, peluang usaha budi daya patin dipastikan makin terbuka lebar, menyusul telah dicanangkannya Program Gerakan Serentak (Gertak) Pengembangan Ikan Patin di tujuh provinsi di Indonesia oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada Januari 2006 lalu di Jambi. Ketujuh provinsi yang dinilai mampu mengembangkannya dengan baik adalah Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat. Dalam pencanangan tersebut, sekaligus ditandatangani kesepakatan antara eksportir dan pemerintah. Eksportir menyatakan kesanggupannya untuk menampung produksi patin di Indonesia dari tujuh provinsi tersebut untuk diekspor ke Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
2. Pasar Ekspor
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan juga mencatat, dari produksi patin konsumsi 16.500 ton per bulan, sekitar 95% atau 15.675 ton digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sisanya, sekitar 5 % atau 825 ton digunakan untuk memenuhi pasar ekspor. Kondisi tersebut terjadi karena produksi Indonesia mutunya masih jauh dari kriteria ekspor yang ditetapkan negara importir patin, seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan sebagian negara-negara Asia. Produksi Indonesia masih didominasi patin siam yang dagingnya agak kemerahan, sementara negara importir menghendaki daging yang berwarna putih.
Kondisi lain menunjukkan, pemenuhan bagi Negara-negara pengimportir patin tersebut hanya dilakukan oleh pembudidaya dari Vietnam dan Taiwan. Pemenuhan itu pun masih dinilai kurang oleh negara importir, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Dengan kondisi tersebut, bisa diartikan bahwa peluang ekspor masih terbuka luas bagi patin super. Pembudidayaan dalam jumlah besar, diharapkan mampu menggantikan minimnya kuantitas dan kualitas yang dikirimkan Vietnam dan Taiwan ke negara-negara importir patin.
Pada tahun 1980-an, patin hanya dikenal dan digemari kalangan masyarakat Sumatera dan Kalimantan. Belakangan, seiring mulai suksesnya pengembangan budidaya patin siam, konsumsinya mulai dikenal luas. Kini, patin tidak hanya menjadi bagian menu makan masyarakat Sumatera dan Kalimantan, tapi sudah meluas hingga ke Pulau Jawa terutama Jawa Barat dan Kawasan Timur Indonesia.
Membaiknya prospek pemasaran di dalam negeri, tidak bisa lepas dari kebutuhan masyarakat Indonesia pada protein hewani. Seperti diketahui, kebutuhan protein hewani masyarakat di Tanah Air umumnya terus meningkat, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendidikan, dan taraf hidup. Bukan rahasia umum, peningkatan taraf hidup ini berkorelasi positif dengan kemampuan daya beli masyarakat.
Selain itu, munculnya kesadaran masyarakat pada bahaya kolesterol, juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis protein hewani yang akan dikonsumsi. Masyarakat menilai, sumber protein hewani asal ikan—termasuk ikan patin— lebih aman ketimbang dari hewan lainnya. Pasalnya, kadar kolesterolnya relatif lebih rendah. Alasan lain adalah ditemukannya berbagai kasus penyakit pada hewan ternak. Merebaknya kasus sapi gila atau madcow pada sapi dan kasus flu burung atau avian influenza pada ayam, membuat masyarakat beralih pada sumber protein lain yang dinilai lebih aman, yakni ikan.
Hingga saat ini, belum ada referensi yang pasti tentang jumlah kebutuhan patin di tingkat lokal. Namun, untuk mengetahuinya bisa digunakan gambaran sebagai berikut. Pada tahun 1990 misalnya, kebutuhan benih di Sumatera Selatan masih kurang dari 1 juta ekor perbulan. Namun, pada periode tahun 1995 hingga 1997, kebutuhan benih di daerah tersebut mencapai lebih dari 2 juta ekor perbulan. Data terakhir dari Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan, kebutuhan benih secara nasional mencapai 55 juta ekor per bulan. Jumlah tersebut diperlukan untuk mencapai target produksi patin konsumsi sebesar 16.500 ton.
Ke depan, peluang usaha budi daya patin dipastikan makin terbuka lebar, menyusul telah dicanangkannya Program Gerakan Serentak (Gertak) Pengembangan Ikan Patin di tujuh provinsi di Indonesia oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada Januari 2006 lalu di Jambi. Ketujuh provinsi yang dinilai mampu mengembangkannya dengan baik adalah Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat. Dalam pencanangan tersebut, sekaligus ditandatangani kesepakatan antara eksportir dan pemerintah. Eksportir menyatakan kesanggupannya untuk menampung produksi patin di Indonesia dari tujuh provinsi tersebut untuk diekspor ke Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
2. Pasar Ekspor
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan juga mencatat, dari produksi patin konsumsi 16.500 ton per bulan, sekitar 95% atau 15.675 ton digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sisanya, sekitar 5 % atau 825 ton digunakan untuk memenuhi pasar ekspor. Kondisi tersebut terjadi karena produksi Indonesia mutunya masih jauh dari kriteria ekspor yang ditetapkan negara importir patin, seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan sebagian negara-negara Asia. Produksi Indonesia masih didominasi patin siam yang dagingnya agak kemerahan, sementara negara importir menghendaki daging yang berwarna putih.
Kondisi lain menunjukkan, pemenuhan bagi Negara-negara pengimportir patin tersebut hanya dilakukan oleh pembudidaya dari Vietnam dan Taiwan. Pemenuhan itu pun masih dinilai kurang oleh negara importir, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Dengan kondisi tersebut, bisa diartikan bahwa peluang ekspor masih terbuka luas bagi patin super. Pembudidayaan dalam jumlah besar, diharapkan mampu menggantikan minimnya kuantitas dan kualitas yang dikirimkan Vietnam dan Taiwan ke negara-negara importir patin.
Simak Selanjutnya : Pola Produksi Ikan Patin
Sumber : Budidaya Patin Super. Khairuman, Sp
Sumber : Budidaya Patin Super. Khairuman, Sp
No comments:
Post a Comment