Umumnya, produksi ikan patin di Indonesia, baik dalam bentuk benih maupun ukuran konsumsi, didominasi jenis patin siam (Pangasius hyphopthalmus sinonim P. sutchi) atau disebut lele bangkok. Jika ada tambahan, tak lebih dari hasil tangkapan di sungai-sungai besar tertentu di Tanah Air. Patin siam adalah hasil introduksi dari Thailand pada tahun 1972. Jenis patin itu sangat populer dan mudah memasyarakat. Pasalnya, gampang dikembangbiakkan dan mampu menghasilkan telur atau benih dalam jumlah relatif banyak setiap kali dipijahkan.
Namun pembudidaya patin di Indonesia tidak kehilangan akal. Hasil penelitian sementara dari Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi dan pengalaman sejumlah pembudidaya patin di dalam karamba di Jambi dan Palembang menunjukkan, warna daging patin siam bisa berubah menjadi putih, asalkan dipelihara di sungai. Namun, tidak semua pembudidaya melakukan kegiatan budi daya di sungai. Ujung-ujungnya, pembudidaya di Indonesia tetap tidak mampu memenuhi kuota ekspor patin berdaging putih, apalagi menjaga kontinuitas pengiriman.
Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut, para peneliti perikanan di Indonesia berusaha mencari jenis ikan patin lain yang dapat memenuhi kriteria kebutuhan ekspor. Setelah melalui serangkaian penelitian yang dilakukan selama beberapa tahun, para peneliti perikanan pun berhasil melakukan domestikasi dan melakukan pemijahan buatan. Mereka akhirnya berhasil menemukan 13 jenis patin lokal Indonesia, salah satunya adalah "patin jambal" atau Pangasius djambal yang paling mendekati kriteria kebutuhan pasar ekspor.
Ikan patin jambal diperoleh melalui proses penangkapan di sungai. Umumnya, patin jenis ini sangat diminati masyarakat Sumatera dan Kalimantan. Meski secara geografis, penyebarannya cukup luas dan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Penyebarannya yang luas juga menunjukkan bahwa jenis ini cocok dipelihara di banyak tempat dan mudah dikembangbiakkan. Keunggulan dari sisi fisik adalah dagingnya berwarna putih, bobot badannya bisa mencapai lebih dari 20 kg, dan panjang hampir 1 m. Namun, patin jenis ini hanya mampu menghasilkan telur dalam jumlah relatif sedikit. Kepopuleran patin jambal membuat Departemen Kelautan dan Perikanan resmi melepasnya ke masyarakat untuk dibudidayakan pada tahun 2000.
Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut, para peneliti perikanan di Indonesia berusaha mencari jenis ikan patin lain yang dapat memenuhi kriteria kebutuhan ekspor. Setelah melalui serangkaian penelitian yang dilakukan selama beberapa tahun, para peneliti perikanan pun berhasil melakukan domestikasi dan melakukan pemijahan buatan. Mereka akhirnya berhasil menemukan 13 jenis patin lokal Indonesia, salah satunya adalah "patin jambal" atau Pangasius djambal yang paling mendekati kriteria kebutuhan pasar ekspor.
Ikan patin jambal diperoleh melalui proses penangkapan di sungai. Umumnya, patin jenis ini sangat diminati masyarakat Sumatera dan Kalimantan. Meski secara geografis, penyebarannya cukup luas dan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Penyebarannya yang luas juga menunjukkan bahwa jenis ini cocok dipelihara di banyak tempat dan mudah dikembangbiakkan. Keunggulan dari sisi fisik adalah dagingnya berwarna putih, bobot badannya bisa mencapai lebih dari 20 kg, dan panjang hampir 1 m. Namun, patin jenis ini hanya mampu menghasilkan telur dalam jumlah relatif sedikit. Kepopuleran patin jambal membuat Departemen Kelautan dan Perikanan resmi melepasnya ke masyarakat untuk dibudidayakan pada tahun 2000.
Dalam perkembangannya, masyarakat menyebut patin jambal dan patin pasupati sebagai patin super. Sebutan tersebut diberikan dengan mempertimbangkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki kedua jenis patin itu. Keduanya memang memiliki banyak kemiripan, baik dalam pemeliharaan, pemijahan, maupun pembesaran.
Simak Selanjutnya : Prospek Usaha Ikan Patin, Menjanjikan
Sumber : Budidaya Patin Super. Khairuman, Sp
No comments:
Post a Comment