Thursday, October 2, 2008

Prospek Usaha Ikan Patin, Menjanjikan.

Budidaya ikan patin memiliki prospek usaha yang menjanjikan, baik untuk pemenuhan kebutuhan pasar lokal maupun ekspor. Faktor penting yang menjadi kunci terbukanya pasar ikan patin secara luas adalah rasa dagingnya. Para penggemar ikan patin menyatakan, dibandingkan beberapa jenis ikan air tawar lainnya, ikan ini tergolong memiliki rasa daging yang paling enak, lezat, dan gurih. Bahkan sebagian dari mereka menyatakan, ikan ini memiliki rasa daging yang khas. Di sisi lain, patin diketahui memiliki kandungan protein yang relatif tinggi. lkan patin, selain dimanfaatkan sebagai daging segar, juga bisa dimanfaatkan sebagai makanan olahan. Berbagai bentuk dan jenis daging olahannya, saat ini sudah memasyarakat, seperti martabak patin, pastel kembang patin, pring roll patin, kongtin (Singkong dicampur daging patin), fish nugget, sosis, dan fish stick.

1. Pasar Lokal
Pada tahun 1980-an, patin hanya dikenal dan digemari kalangan masyarakat Sumatera dan Kalimantan. Belakangan, seiring mulai suksesnya pengembangan budidaya patin siam, konsumsinya mulai dikenal luas. Kini, patin tidak hanya menjadi bagian menu makan masyarakat Sumatera dan Kalimantan, tapi sudah meluas hingga ke Pulau Jawa terutama Jawa Barat dan Kawasan Timur Indonesia.
Membaiknya prospek pemasaran di dalam negeri, tidak bisa lepas dari kebutuhan masyarakat Indonesia pada protein hewani. Seperti diketahui, kebutuhan protein hewani masyarakat di Tanah Air umumnya terus meningkat, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendidikan, dan taraf hidup. Bukan rahasia umum, peningkatan taraf hidup ini berkorelasi positif dengan kemampuan daya beli masyarakat.
Selain itu, munculnya kesadaran masyarakat pada bahaya kolesterol, juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis protein hewani yang akan dikonsumsi. Masyarakat menilai, sumber protein hewani asal ikan—termasuk ikan patin— lebih aman ketimbang dari hewan lainnya. Pasalnya, kadar kolesterolnya relatif lebih rendah. Alasan lain adalah ditemukannya berbagai kasus penyakit pada hewan ternak. Merebaknya kasus sapi gila atau madcow pada sapi dan kasus flu burung atau avian influenza pada ayam, membuat masyarakat beralih pada sumber protein lain yang dinilai lebih aman, yakni ikan.
Hingga saat ini, belum ada referensi yang pasti tentang jumlah kebutuhan patin di tingkat lokal. Namun, untuk mengetahuinya bisa digunakan gambaran sebagai berikut. Pada tahun 1990 misalnya, kebutuhan benih di Sumatera Selatan masih kurang dari 1 juta ekor perbulan. Namun, pada periode tahun 1995 hingga 1997, kebutuhan benih di daerah tersebut mencapai lebih dari 2 juta ekor perbulan. Data terakhir dari Direktorat Jenderal Perikanan Budi Daya Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan, kebutuhan benih secara nasional mencapai 55 juta ekor per bulan. Jumlah tersebut diperlukan untuk mencapai target produksi patin konsumsi sebesar 16.500 ton.
Ke depan, peluang usaha budi daya patin dipastikan makin terbuka lebar, menyusul telah dicanangkannya Program Gerakan Serentak (Gertak) Pengembangan Ikan Patin di tujuh provinsi di Indonesia oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada Januari 2006 lalu di Jambi. Ketujuh provinsi yang dinilai mampu mengembangkannya dengan baik adalah Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat. Dalam pencanangan tersebut, sekaligus ditandatangani kesepakatan antara eksportir dan pemerintah. Eksportir menyatakan kesanggupannya untuk menampung produksi patin di Indonesia dari tujuh provinsi tersebut untuk diekspor ke Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

2. Pasar Ekspor
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan juga mencatat, dari produksi patin konsumsi 16.500 ton per bulan, sekitar 95% atau 15.675 ton digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sisanya, sekitar 5 % atau 825 ton digunakan untuk memenuhi pasar ekspor. Kondisi tersebut terjadi karena produksi Indonesia mutunya masih jauh dari kriteria ekspor yang ditetapkan negara importir patin, seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan sebagian negara-negara Asia. Produksi Indonesia masih didominasi patin siam yang dagingnya agak kemerahan, sementara negara importir menghendaki daging yang berwarna putih.
Kondisi lain menunjukkan, pemenuhan bagi Negara-­negara pengimportir patin tersebut hanya dilakukan oleh pembudidaya dari Vietnam dan Taiwan. Pemenuhan itu pun masih dinilai kurang oleh negara importir, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Dengan kondisi tersebut, bisa diartikan bahwa peluang ekspor masih terbuka luas bagi patin super. Pembudidayaan dalam jumlah besar, diharapkan mampu menggantikan minimnya kuantitas dan kualitas yang dikirimkan Vietnam dan Taiwan ke negara-negara importir patin.

Simak Selanjutnya : Pola Produksi Ikan Patin
Sumber : Budidaya Patin Super. Khairuman, Sp

Jalan Panjang Siperak, Siperaup DOLLAR

Umumnya, produksi ikan patin di Indonesia, baik dalam bentuk benih maupun ukuran konsumsi, didominasi jenis patin siam (Pangasius hyphopthalmus sinonim P. sutchi) atau disebut lele bangkok. Jika ada tambahan, tak lebih dari hasil tangkapan di sungai-sungai besar tertentu di Tanah Air. Patin siam adalah hasil introduksi dari Thailand pada tahun 1972. Jenis patin itu sangat populer dan mudah memasyarakat. Pasalnya, gampang dikembangbiakkan dan mampu menghasilkan telur atau benih dalam jumlah relatif banyak setiap kali dipijahkan.

Sayangnya, patin siam kurang laku di pasar ekspor. Lantaran dagingnya berwarna kekuningan atau kemerahan. Warna daging seperti itu kurang disukai negara importir ikan patin, seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa. Para importir lebih menyukai ikan yang berdaging putih atau dari jenis Pangasius borourti. Akibatnya, pasar ekspor diisi pembudidaya patin asal Vietnam dan Taiwan, karena memiliki komoditas patin berdaging putih.


Namun pembudidaya patin di Indonesia tidak kehilangan akal. Hasil penelitian sementara dari Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi dan pengalaman sejumlah pembudidaya patin di dalam karamba di Jambi dan Palembang menunjukkan, warna daging patin siam bisa berubah menjadi putih, asalkan dipelihara di sungai. Namun, tidak semua pembudidaya melakukan kegiatan budi daya di sungai. Ujung-ujungnya, pembudidaya di Indonesia tetap tidak mampu memenuhi kuota ekspor patin berdaging putih, apalagi menjaga kontinuitas pengiriman.
Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut, para peneliti perikanan di Indonesia berusaha mencari jenis ikan patin lain yang dapat memenuhi kriteria kebutuhan ekspor. Setelah melalui serangkaian penelitian yang dilakukan selama beberapa tahun, para peneliti perikanan pun berhasil melakukan domestikasi dan melakukan pemijahan buatan. Mereka akhirnya berhasil menemukan 13 jenis patin lokal Indonesia, salah satunya adalah "patin jambal" atau Pangasius djambal yang paling mendekati kriteria kebutuhan pasar ekspor.
Ikan patin jambal diperoleh melalui proses penangkapan di sungai. Umumnya, patin jenis ini sangat diminati masyarakat Sumatera dan Kalimantan. Meski secara geografis, penyebarannya cukup luas dan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Penyebarannya yang luas juga menunjukkan bahwa jenis ini cocok dipelihara di banyak tempat dan mudah dikembangbiakkan. Keunggulan dari sisi fisik adalah dagingnya berwarna putih, bobot badannya bisa mencapai lebih dari 20 kg, dan panjang hampir 1 m. Namun, patin jenis ini hanya mampu menghasilkan telur dalam jumlah relatif sedikit. Kepopuleran patin jambal membuat Departemen Kelautan dan Perikanan resmi melepasnya ke masyarakat untuk dibudidayakan pada tahun 2000.

Menyusul sukses pelepasan ikan patin jambal ke masyarakat, pada 7 Agustus 2006, Departemen Kelautan dan Perikanan kembali melepas ke masyarakat jenis patin baru yang diberi nama "Patin Pasupati" atau Patin Super Harapan Pertiwi. Patin pasupati merupakan hasil persilangan atau hibrida antara patin siam betina dan patin jambal jantan. Keunggulan dari patin ini adalah memiliki daging yang berwarna putih, kadar lemak yang relatif rendah, laju pertumbuhan badan yang relatif cepat, dan jumlah telur yang relatif banyak. Daging yang berwarna putih dan bobot tubuh yang besar diturunkan dari patin jambal, sementara jumlah telur yang relatif banyak diturunkan dari patin siam.
Dalam perkembangannya, masyarakat menyebut patin jambal dan patin pasupati sebagai patin super. Sebutan tersebut diberikan dengan mempertimbangkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki kedua jenis patin itu. Keduanya memang memiliki banyak kemiripan, baik dalam pemeliharaan, pemijahan, maupun pembesaran.

Simak Selanjutnya : Prospek Usaha Ikan Patin, Menjanjikan
Sumber : Budidaya Patin Super. Khairuman, Sp